Friday, November 26, 2010

Cerpen : TITISAN SETRA GANDAMAYIT

“Kenapa sih harus cari di hutan ini?”
Pagi itu, matahari muda masih mengintip malu-malu dari balik cakrawala. Angin pagi berhembus lembut, menciptakan suasana nyaman nan segar. Sesegar wajah kelima remaja kota itu.
Pagi itu, kelima remaja, Saskia, Verlita, Karen, Arkal dan Laundra berjalan perlahan menyusuri jalan yang membelah desa Kawongan, sebuah desa pinggiran yang terpencil dan terisolasi dari peradaban modern. Mungkin karena letaknya yang sangat jauh dari pusat kota. What everlah, yang jelas desa ini masih benar-benar alami.
Karena letaknya yang terpencil dan bisa dibilang hampir luput dari pandangan orang di luar sana, tidak banyak orang yang tahu ataupun ingin tahu tentang desa ini. Tetapi kelima remaja itu menyempatkan diri untuk berkunjung di desa ini. Itupun karena ada alasannya.
Sesungguhnya, tujuan utama mereka bukanlah desa Kawongan, tetapi hutan Lajanganyar yang letaknya 20 km kearah utara dari desa Kawongan. Sebuah hutan yang sama dengan desa Kawongan, jauh dan terabaikan dalam peradaban. Sebuah hutan yang belum banyak terjamah.
“Eh, Petruk! Aku tanya sama kamu nih, kenapa sih harus cari di hutan ini?”kata Saskia mengulangi pertanyaannya.
Laundra, ternyata yang dipanggil Petruk oleh Saskia hanya diam saja. Laundra, pemuda berperawakan tinggi tegap dan berwajah tampan. Hidung mancung yang menjadi ciri khasnya menyebabkan dia bisa dijuluki Petruk oleh teman-temannya.
“Kamu berisik banget sih Sas, dari tadi ngomel melulu! Jangan ganggu si Petruk lagi konsentrasi dong,” tegur cewek cantik di sebelah Laundra, Verlita.
“Ya ampun, konsentrasi apa coba? Iya kalau nyetir mobil gitu harus konsentrasi . ini lagi jalan kaki, neng! Nggak butuh banyak konsentrasi. Masa jawab pertanyaan aja nggak mau. Huh!” omel Saskia panjang pendek.
“Bro, sebaiknya kita beristirahat dulu di sini, sambil kita mendiskusikan kembali keputusan kita.” Kata Arkal pada Laundra.
Arkal, cowok yang berperawakan hampir sama dengan Laundra, hanya Arkal sedikit lebih tinggi daripada Laundra. Air mukanya dingin dan tegas. Kepada dialah semua permasalahan mereka berujung, dengan kata lain, Arkal adalah “penyelesai masalah” bagi mereka.
Arkal menoleh kearah Laundra.
“Yaelah, istiraha lagi, istirahat lagi. Kita nggak punya banyak waktu lho! Kita masuk hutan Lajanganyar aja diperkirakan tengah hari. Nanti belum masang tenda, belum masak? Cari bahan-bahannya juga nggak gampang lho! Terus, katanya kita juga ngerjain makalah di sini juga?” cerocos Karen, cewek berkacamata yang super kritis.
“Tapi kita harus mendiskusikan dulu..”
“Apanya yang harus didiskusikan? Kemarin kan kita sudah setuju kita cari bahan di hutan Lajanganyar kan? Kita juga sudah mempersiapkan semuanya, kita sudah setengah jalan kan? Nanggung dong kalau nggak dilanjutin!” kata Karen memotong kata-kata Arkal.
Arkal memutar bola matanya. Memang susah bicara sama anak kritis dan pandai seperti Karen. Arkal hanya mengangkat alisnya kearah Laundra. Semua teman-temannya pun ikut menoleh kearah Laundra.
“Aku setuju dengan pendapat Karen. Kita nggak akan istirahat bila nggak lelah. Kalau ada yang mau didiskusikan, kita diskusikan aja sambil jalan.” Kata Laundra.
“Oke, kalau begitu jawab pertanyaanku.” Tuntut Saskia.
“Kita memilih hutan Lajanganyar karena hutam ini alami yang belum begitu banyak terinfeksi oleh polusi. Jadi keaslian botani masih terjamin. Dan aku yakin eksperimen kita akan berhasil nanti.”kata Laundra.
Ya, mereka berlima adalah mahasiswa di fakultas Farmasi yang cukup bonafit di kota. Kali ini, mereka harus mencari dan menguji tanaman herbal untuk obat altenatif yang murah dan mudah di buat. Rupanya itu alasan mereka singgah di hutan Lajanganyar.
“Tapi jujur ya, Ndra. Kita kan belum tahu medan jalan hutan Lajanganyar ini seperti apa? Apalagi kita membawa tiga orang cewek. Yang, aku khawatirkan mereka tidak kuat kalau medannya terlalu benar-benar berat.” Kata Arkal.
“Aku punya sedikit deskripsinya , aku temukan di “Pengalaman Desa Tertinggal.”kata Karen. Dia berhenti sejenak, lalu membuka ranselnya dan mengeluarkan sebuah buku. “aku meminjamnya dari perpustakaan.” Katanya menambahkan sambil membuka buku-buku itu.
“Nah ini dia, aku bacakan ya.” Kata Karen. Semua temannya diam mendengarkan.
“Desa Kawongan berbatasan dengan hutan Lajanganyar di sebelah utara. Sampai saat ini, belum banyak orang menyentuh hutan Lajanganyar. Secara geografis, hutan Lajanganyar seperti hutan-hutan pada umumnya, tetapi karena lebatnya, hanya sedikit sinar matahari yang mampu menembusnya. Hewan-hewan liar di perkirakan masih banyak, antara lain beberapa spesies babi hutan, anjing hutan dan ular. Cuma itu yang dijelaskan disini.”kata Karen mengakhiri bacaanya.
“Baiklah, tadi sudah dijelaskan secara geografis hutan Lajanganyar hampir sama dengan hutan lain kan? Aku kira tidak ada masalah dengan itu. Kita sebagai teman pasti harus saling membantu. Iya kan?” kata Laundra sambil tersenyum.
“Iya dooong ....” sahut teman-temannya.
“Oke kalau gitu kita lanjutkan perjalanan ini. Siap semuanya?” kata Laundra.
“Siap!!” jawab yang lain kompak.
“Oke kalau begitu, langsung jalan! Go, go, go !” teriak Laundra.
Mereka melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti gara-gara Karen membaca buku tadi. Arkal berjalan paling depan. Dibelakang Arkal, kerepotan membawa ranselnya yang penuh peralatan masak, Verlita berjalan terseok-seok. Diikuti Saskia yang selalui ceria, berjalan sambil melambai-lambaikan tangan. Di belakang Saskia, Karen masih memegang buku “Pengalaman Desa Tertinggal” dan di ekor barisan adalah Laundra.
Karen berjalan sangat lambat sehingga jaraknya dengan Saskia agak jauh. Hal ini membuat Laundra heran. Laundra mempercepat langkahnya dan menjejeri langkah Karen.
“Kamu masih kuat jalan kan Karen?” tanya Laundra.
Karen mengangguk. Dia memandang Laundra dengan pandangan cemas bercampur khawatir.
“Maafkan aku Laundra, sebenarnya ada beberapa kalimat tambahan tentang deskripsi hutan Lajanganyar. Tapi aku nggak berani membacakannya di depan teman-teman.” Kata Karen sambil menundukkan kepala.
“Kenapa nggak berani ?” tanya Laundra.
“Karena... karena agak mengerikan.” Kata Karen agak tergagap.
“Apa bunyinya?” tanya Laundra lagi.
“Karena hutan ini jarang di jamah oleh orang-orang dan kebetulan banyak binatang liar, oleh penduduk setempat desa ini di anggap sebagai titisan hutan Setra Gandamayit.” Ada sedikit getaran dalam suara Karen.
“Apa itu Setra Gandamayit?” tanya Laundra.
“Setra Gandamayit adalah nama salah satu hutan di dunia pewayangan. Hutan tempat kerajaan jin berada, dimana Batari Durga sebagai ratunya. Hutan yang selalu diliputi keangkaramurkaan.” Karen menjelaskan.
“Oh.. tapi itu Cuma sebagai perumpamaan kan? Lajanganyar dijuluki sebagai titisan Setra Gandamayit karena belum terjamah dan banyak binatang buas kan?” Laundra menenangkan.
“ Tapi dalam cerita, setiap manusia yang sudah masuk ke wilayah Setra Gandamayit ini tidak bisa keluar dan akan menemui ajalnya di Setra Gandamayit ini!” kata Karen panik.
“Yah, yang penting kita sudah berusaha hati-hati dan menghindari kecelakaan, Insya Allah kita selamat. Optimis, oke ?” Laundra kembali berusaha menenangkan.
Karen hanya terdiam.
“Yok agak cepat. Teman-teman udah jauh di depan kita tuh. Jangan dipikirkan, itu kan hanya mitos biasa. Oke ?” kata Laundra sambil menepuk bahu Karen pelan.
Kepala Karen mengangguk, tapi hatinya tak mau yakin.
***
Laundra memgembuskan nafas. Uff.. capeknya! Masang tenda sudah, ambil air sudah, cari ranting kering sudah juga, tinggal masak yang belum. Tapi kan sudah diurusi ama Verlita? Yah, berarti tugas untuk hari ini terhitung selesai, pikir Laundra.
Laundra memperhatikan Arkal yang mengecek kembali tali temali tenda, Verlita yang merebus air dan Saskia yang kerepotan membuka kaleng Sarden. Tapi omong-omong Karen dimana ya?
“Hoii guys, Karen dimana kok nggak keliatan?” Tanya Laundra.
“Katanya tadi mau pipis di sungai bawah sana.” Jawab Saskia.
“Hah? Gawat kalau dibiarkan sendirian!” teriak Laundra. Dia bangkit dan berkata, “Guys, aku akan menyusul Karen. Kalian disini aja ya, bila aku tidak kembali dalam waktu satu jam, susul aku ya?” kata Laundra sambil berlari.
“Apaan sih Laundra? Lebay amat? Karen bisa menjaga dirinya sendiri kalee.” Kata Verlita meremehkan.
Satu yang tidak diketahui Verlita adalah, Laundra menyusul Karen karena dia ingat bahwa hutan itu dijuluki sebagai titisan Setra Gandamayit.
Benar saja! Hampir satu jam, Laundra, begitu juga Karen belum kembali juga. Arkal, Saskia dan Verlita mulai cemas. Akhirnya mereka bertiga sepakat untuk menyusul ke sungai. Sesampainya di sungai.....
“Karennn....!” Arkal, Verlita dan Saskia berteriak panik.
Tubuh Karen tergeletak bersimbah darah di lereng sungai!!!
Tangan Karen menggapai lemah ke arah ketiga temanya. Arkal, Saskia dan Verlita berlari menghampiri Karen yang terpuruk di tanah.
“Khh...Ser...ba... ber.....to...lak.. bel....akang..” Karen tersendat sendat.
“Ren, bertahanlah!!” kata Verlita sambi berusaha mengangkat tubuh Karen ke tempat yang lebih nyaman, dibantu Saskia dan Arkal.
Karen menggelengkan kepala berlahan. “Ke....lu...ar...lah.... sebelum...sem..ua terr...lam...bat......” Bersamaan dengan ejaan terakhir, mata Karen tertutup perlahan.
“KAREEENN!!! Tidaakkkk!!” Jerit Verlita. Dia kembali meletakkan tubuh Karen ke tanah lalu berusaha memberi nafas buatan. Tetapi percuma, jantung Karen sudah berhenti berdetak.
Verlita menangis terisak-isak sambil memeluk tubuh Karen. Saskia berlutut disamping Verlita dan merangkul bahu Verlita. Sementara Arkal berdiri memandang mayat Karen dengan mata berkaca-kaca.
“Sas, Ver,,” panggil Arkal dengan suara bergetar. Saskia dan Verlita menoleh ke arah Arkal. Air mata masih membanjiri pipi mereka bertiga.
“Aku akan mencari keberadaan Laundra. Aku berharap kalian berdua mau mencari bantuan ke desa terdekat.” Kata Arkal serak.
Verlita berdiri. “Nggak,” katanya. “Aku mau ikut kamu mencari Laundra.” Sambung Verlita.
“Kau harus pergi Verlita! Biarlah aku saja yang mencari Laundra!” kata Arkal.
Namun Verlita tak menghiraukan kata-kata Arkal. Dia pergi begitu saja meninggalkan Saskia dan Arkal. Arkal menghela nafas panjang dan memandang Saskia.
“Aku mohon, Sas.” Lirih Arkal.
“Aku akan melakukanya. Demi persahabatan kita Kal. Aku janji bantuan akan segera tiba. Jaga Verlita dan urus Karen ya??” kata Saskia.
Arkal tak mampu menahan perasaanya. Diapun memeluk Saskia. Saskia membalas pelukan Arkal.
“Semoga kita bisa bertemu dalam keadaan yang lebih baik daripada sekarang.” Kata Arkal sambil melepaskan tubuh Saskia.
Saskia menganggukkan kepala. Arkal tersenyum sejenak , lalu melangkah pergi. Saskia memandangnya sampai Arkal tak terlihat lagi.
“Semoga kamu berhasil, Kal.” Kata Saskia. Lalu Saskia membalikkan badannya dan pergi dari tempat itu.
***
Saskia terengah-engah. Tidak ada jalan yang lain. Di depanya, jurang menganga lebar. Saskia bagaikan makan buah simalakama. Meneruskan langkahnya berarti dia terperosok ke dalam jurang, mati. Bila dia kembali, entah apa yang terjadi.
Saskia terpuruk di tanah. Emosi begitu kuat mencengkeram batin Saskia. Antara sedih dan marah. Sedih karena dia harus meninggalkan teman-temanya. Dan marah karena dia merasa tak bisa melaksanakan amanat Arkal.
Air mata mulai turun membasahi pipi Saskia. Kal, apa yang harus kulakukan? Batin Saskia. Saskia terdiam sesaat. Kemudian Saskia menyeka air matanya. Saskia menghela nafas. Tak apalah, batin Saskia berkata. Kalau hidupku berakhir disini seperti Karen, aku takkan melawan takdir.
Saskia bangkit. Sekali lagi menghela nafas. Dia memandang sekelilingnya, mungkin untuk terakhir kali memandang dunia. Pelahan, dia memejamkan matanya dan melangkah mantap menuju jurang.
Beberapa langkah lagi Saskia akan terjatuh ke dalam jurang. Namun Saskia tidak merasa gentar. Dia siap merasakan tubuhnya terperosok, melayang dan kemudian membentur bebatuan tajam di dasar jurang.
Namun sudah beberapa langkah seharusnya Saskia sudah terperosok ke dalam jurang. Tetapi tidak! Kaki Saskia masih terasa menjejak tanah!
Perlahan Saskia membuka matanya. Ketika terbuka sepenuhnya Saskia tebelalak tak percaya. “Ya Allah, tak salahkah mataku ini?” Saskia begumam heran.
Ternyata Saskia berjalan di sebuah jalan setapak yang lurus! Saskia melihat ke depan, begitu juga ke belakang. Ternyata tak ada jurang!!
Akhirnya Saskia paham apa yang dimaksud Karen saat menjelang ajal. “serba bertolak belakang.” kata Karen waktu itu. Hutan itu menciptakan ilusi yang mampu menipu pandangan mata. Mungin karena itulah Karen celaka, bahkan mungkin Laundra juga mengalami hal yang sama.
Akhirnya, Saskia mengikuti jalan setapak itu dan ternyata jalan setapak itu membawanya ke pinggir hutan. Saskia berhasil keluar dari hutan titisan Setra Gandamayit itu.
***
“Karen udah nggak ada, Ma. Laundra hilang. Verlita dan Arkal, aku nggak tau gimana nasib mereka.” Saskia terisak-isak di pelukan Mamanya.
“Sudahlah sayang, tidak ada seorangpun yang bisa melawan kehendak takdir. Mungkin memang begini takdir mereka. Kita tunggu kabar selanjutnya dari tim SAR ya?” kata Mama lembut.
Saskia melepaskan diri dari Mamanya. Perlahan, dia mengalihkan pandangan ke arah Hutan Lajanganyar. Kabut tipis turun menyelimuti hutan itu, membungkus kegelapan dan misteri di dalamnya.
Saskia membuka risleting ransel nya, yang sempat dia ambil dari tenda sebelum mencari jalan keluar. Dia ingin mengeluarkan semua barang-barangnya. Tetapi....
“Ma....” panggil Saskia bergetar.
“Ada apa sayang? Jawab Mama sambil mendekat.
Saskia menunjukkan isi ranselnya,
Isi ransel Saskia bukan barang-barang pribadi Saskia melainkan TULANG BELULANG DAN TENGKORAK MANUSIA!!!
Tamat


Karangan : Albastomi Eridian Putra ( XI-IPA 3 RSBI SMAN MOJOAGUNG )
Dipublikasikan oleh : www.nizarblackid.co.cc

1 komentar:

Wow, cerita tentang hutan serta gandamayit ini cukup seram juga. Berarti cuma Saskia yang selamat ya.

Post a Comment

What's on your mind?